Syekh Mahmud

Mengenal Jejak Historis Syekh Mahmud di Barus: Menyusuri Tapak Islam Pertama di Nusantara

Oleh: Agus Gunawan

Pendahuluan: Barus, Gerbang Tua Islam Nusantara

Ketika berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara, nama Barus sering muncul sebagai salah satu titik awal peradaban Islam di bumi Indonesia. Kota kecil di pesisir barat Sumatera Utara ini, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, pernah menjadi pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi para pedagang Arab, Gujarat, dan Persia sejak abad ke-7 Masehi. Di sanalah, menurut banyak catatan, jejak awal Islam di Nusantara bersemi—jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam besar seperti Samudra Pasai atau Demak.

Baca juga: Cak Imin Akan Pimpin Apel Akbar Hari Santri di Titik Nol Islam Nusantara Barus 

Salah satu nama besar yang melekat kuat dalam sejarah Islam di Barus adalah Syekh Mahmud, seorang ulama dan penyebar Islam yang diyakini menjadi bagian dari generasi pertama penyiar Islam di kawasan ini. Hingga kini, makam Syekh Mahmud di Barus menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi, tidak hanya oleh masyarakat Sumatera tetapi juga oleh peziarah dari berbagai penjuru Nusantara.

Barus: Pusat Perdagangan dan Pertemuan Peradaban

Dalam literatur kuno, Barus dikenal dengan berbagai nama: Fansur, Pansur, atau Barusai. Catatan Arab, India, hingga Cina menyebut daerah ini sebagai penghasil kapur barus (camphor), komoditas berharga tinggi yang menjadi incaran pedagang dunia. Al-Mas‘udi (w. 956 M) dalam Muruj al-Dzahab menyebut kapur barus dari Fansur sebagai salah satu barang terbaik di dunia, bahkan digunakan untuk mengawetkan jenazah para raja di Timur Tengah.

Aktivitas perdagangan internasional inilah yang membuka jalan bagi datangnya para pedagang Muslim ke Barus. Hubungan dagang yang intens kemudian berkembang menjadi hubungan budaya dan spiritual. Islam pun hadir bukan melalui perang atau penaklukan, tetapi melalui interaksi damai, perdagangan, dan dakwah personal.

Syekh Mahmud dan Jejak Dakwah Awal Islam

Siapakah Syekh Mahmud?
Sejarah lisan masyarakat Barus menyebutnya sebagai salah satu ulama besar yang datang bersama rombongan penyiar Islam dari Arab dan Gujarat sekitar abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Ia dikenal bukan hanya sebagai pendakwah, tetapi juga sebagai tokoh spiritual yang membawa ajaran tasawuf — ajaran Islam yang menekankan penyucian jiwa dan kedekatan dengan Tuhan.

Jejak beliau dapat ditemukan di Makam Mahligai Barus, kompleks pemakaman tua yang terletak di puncak bukit. Di sana terdapat beberapa nisan batu dengan inskripsi berbahasa Arab kuno dan bertanggal sangat awal (beberapa ahli epigrafi memperkirakan abad ke-9 M). Gaya tulisan kufi pada batu nisan tersebut menjadi bukti arkeologis kuat bahwa Islam telah mengakar di Barus jauh sebelum Samudra Pasai berdiri.

Selain Syekh Mahmud, di kompleks itu juga terdapat makam-makam yang disebut milik Syekh Rukunuddin, Syekh Usman, dan Syekh Sulaiman, yang diyakini datang dalam rombongan penyebar Islam pertama di wilayah tersebut. Jejak arkeologis dan tradisi lokal ini menunjukkan bahwa dakwah Islam di Nusantara dimulai dari barat—melalui Barus—lalu menyebar ke pesisir timur Sumatera dan terus ke Jawa.

Barus dalam Kajian Sejarawan dan Arkeolog

Sejumlah sejarawan seperti Azyumardi Azra, Taufik Abdullah, dan Claude Guillot telah menulis tentang peran penting Barus dalam jaringan Islamisasi Nusantara.
Claude Guillot, dalam penelitiannya berjudul Barus, Seribu Tahun yang Lalu (1998), menyebut bahwa Barus merupakan titik awal penyebaran Islam yang penting, karena menjadi melting pot antara pedagang Muslim dan masyarakat lokal yang sebelumnya menganut kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha.

Penelitian arkeologis oleh LIPI dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) juga menemukan berbagai artefak Islam awal di Barus, termasuk nisan dengan tulisan Arab bertanggal 48 Hijriyah (sekitar 670 Masehi). Temuan ini, jika benar terbukti valid secara karbon, menjadikan Barus sebagai salah satu kawasan Islam tertua di Asia Tenggara.

Baca juga: Mengenal makam Mahligai di Barus yang dijadikan titik Nol peradaban Islam Nusantara

Tasawuf dan Islamisasi Damai di Barus

Menariknya, Islam yang tumbuh di Barus sejak awal sudah beraroma tasawuf. Dakwah Syekh Mahmud dan para sahabatnya tidak dimulai dengan pengajaran hukum formal, tetapi dengan pendekatan spiritual, etika, dan akhlak. Mereka menekankan ajaran cinta kasih, ketulusan, dan keikhlasan dalam berdagang maupun bermasyarakat.

Pendekatan inilah yang membuat masyarakat lokal mudah menerima Islam tanpa konflik budaya. Islam tampil sebagai agama yang menyatu dengan kearifan lokal, bukan sebagai kekuatan yang menghapus tradisi, melainkan yang menyucikannya. Pola dakwah seperti ini kemudian diwariskan oleh generasi sufi setelahnya — termasuk Syekh Hamzah Fansuri, sufi besar abad ke-16 M yang juga berasal dari wilayah Barus-Fansur.

Warisan Spiritual dan Kultural

Hingga hari ini, Barus masih menyimpan atmosfer spiritual yang kuat. Kompleks makam Syekh Mahmud di Bukit Mahligai sering dijadikan tempat ziarah, doa, dan refleksi diri. Pemerintah Indonesia pun telah mengakui nilai sejarahnya dengan menetapkan Barus sebagai “Titik Nol Peradaban Islam Nusantara” pada tahun 2017, diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Penetapan itu bukan sekadar simbol, melainkan pengingat bahwa Islam di Nusantara lahir dari jalan damai dan perjumpaan antarbangsa. Barus mengajarkan bahwa Islam datang tidak untuk menaklukkan, tetapi untuk mencerahkan dan memperindah peradaban.

Penutup: Belajar dari Barus dan Syekh Mahmud

Jejak Syekh Mahmud di Barus bukan hanya bagian dari catatan sejarah, tetapi juga cermin spiritual bagi umat Islam masa kini. Dari Barus kita belajar bahwa kekuatan Islam bukan terletak pada pedang, tetapi pada ketulusan, akhlak, dan kebijaksanaan.
Dari Syekh Mahmud kita belajar bahwa dakwah sejati bukan sekadar menyebarkan syariat, tetapi menumbuhkan cinta pada Tuhan dan kasih pada sesama manusia.

Islam di Nusantara lahir dari persilangan budaya dan perdagangan yang damai — sebuah model peradaban yang relevan untuk terus dijaga di tengah dunia modern yang sering terbelah oleh identitas dan konflik.[gn]

Daftar Pustaka

  • Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
  • Claude Guillot. Barus, Seribu Tahun yang Lalu. Jakarta: École française d’Extrême-Orient dan Puslit Arkenas, 1998.
  • Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
  • Al-Mas‘udi. Muruj al-Dzahab wa Ma‘adin al-Jawhar. Beirut: Dar al-Andalus, 1965.
  • Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1992.