Ketika Keadilan Dilanggar: Memahami Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perspektif Islam dan Negara
Oleh: Agus Gunawan
Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks, konflik kepentingan antara individu dan kelompok sering kali tak terelakkan. Salah satu bentuk konflik yang banyak muncul di ranah hukum perdata adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), atau onrechtmatige daad dalam terminologi Belanda. Konsep ini menjadi landasan penting bagi setiap warga negara yang merasa dirugikan untuk menuntut keadilan melalui jalur hukum.
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.” Rumusan ini menegaskan empat unsur utama dalam PMH: adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian tersebut. Dengan demikian, hukum tidak hanya melindungi hak-hak pribadi, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial agar tidak ada pihak yang dirugikan tanpa keadilan.
Jika ditelusuri lebih dalam, konsep PMH dalam hukum positif memiliki akar yang sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam hukum Islam. Dalam tradisi fikih, dikenal istilah ḍarar (kerugian) dan ta‘diyah (melanggar hak orang lain). Nabi Muhammad ﷺ bersabda: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ فِي الْإِسْلَامِ — “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibn Mājah). Hadis ini menjadi dasar universal bahwa setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atau bahaya harus dihindari, dan apabila terjadi, maka pelakunya wajib bertanggung jawab secara moral dan hukum.
Dalam hukum Islam, tanggung jawab tersebut tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga spiritual. Pelaku ta‘diyah tidak sekadar diwajibkan mengganti kerugian, tetapi juga diminta bertobat dan memperbaiki hubungan sosial dengan korban. Hal ini berbeda dengan pendekatan hukum positif yang lebih menitikberatkan pada ganti rugi secara formal. Namun, keduanya memiliki kesamaan substansial: keadilan tidak boleh hanya berhenti di atas kertas, tetapi harus memberikan pemulihan nyata kepada pihak yang dirugikan.
Relevansi antara hukum Islam dan hukum positif menjadi penting di Indonesia, negara dengan mayoritas Muslim yang tetap menjunjung asas rule of law. Dalam konteks ini, pendekatan integratif antara nilai-nilai syariah dan sistem hukum nasional dapat memperkaya praktik penegakan keadilan. Misalnya, penerapan asas la ḍarar wa la ḍirār dapat menjadi inspirasi etika bagi hakim dan advokat dalam menangani perkara perdata.
Gugatan PMH pada akhirnya tidak sekadar menjadi mekanisme legal, tetapi juga cermin moral peradaban hukum. Ia mengajarkan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi, dan setiap hak menuntut tanggung jawab. Dalam bahasa Islam, inilah bentuk nyata dari al-‘adl (keadilan) dan ihsan (kebaikan) yang menjadi fondasi masyarakat beradab. Maka, memahami dan menegakkan PMH bukan hanya urusan yuridis, tetapi juga panggilan nurani untuk menjaga keadilan dan martabat kemanusiaan.[gn]