Nabi Saw

Dari Hulu Cahaya ke Hilir Cinta: Menjaga Jernihnya Risalah Nabi di Zaman yang Keruh

Oleh: Agus Gunawan

Bayangkan sebuah sungai panjang yang mengalir dari pegunungan tinggi — jernih, sejuk, menenangkan. Dari hulu, air itu memantulkan cahaya matahari, membawa kehidupan bagi siapa pun yang disentuhnya. Itulah gambaran risalah Rasulullah ﷺ: mengalir dari sumber yang suci, menebarkan rahmat bagi semesta alam. Dan kita, manusia di ujung zaman ini, hidup di hilir sungai itu — jauh dari sumber, namun tetap bergantung pada alirannya.

Namun, semakin jauh air mengalir, semakin besar kemungkinan ia menjadi keruh. Di sepanjang perjalanannya, air itu bersentuhan dengan tanah, ranting, bahkan kotoran manusia. Ia melewati kota-kota yang sibuk, ladang yang tamak, dan tangan-tangan yang tak lagi peduli pada kejernihan. Begitulah kira-kira nasib ajaran suci itu setelah EMPAT BELAS ABAD mengalir menembus ruang dan waktu. Dari Madinah yang teduh, ke dunia modern yang gaduh — risalah Nabi masih mengalir, tapi seringkali diselimuti debu kepentingan dan kerak ego manusia.

Padahal, air itu berasal dari mata air yang murni — dari hati seorang manusia agung yang setiap detak jantungnya adalah doa, setiap langkahnya adalah kasih, setiap diamnya adalah zikir. Rasulullah ﷺ adalah hulu cahaya: tempat pertama di mana rahmat Allah memancar ke bumi. Dari beliau, air kehidupan itu memancar, menghidupi hati, menyuburkan jiwa, dan menumbuhkan peradaban.

Kita yang berada di hilir mungkin tak lagi dapat melihat hulu itu secara langsung. Kita tak bisa menatap wajahnya yang mulia, tak bisa mendengar suara lembutnya, tak bisa mencium aroma tubuhnya yang lebih harum dari kesturi. Tapi kita masih bisa merasakan kesejukannya. Kita masih bisa meneguk air jernih yang mengalir dari teladannya, jika saja kita mau menundukkan diri dan membersihkan bejana hati.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda dengan penuh kerinduan, Aku rindu kepada saudara-saudaraku. Para sahabat terkejut, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Kalian adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah mereka yang beriman kepadaku padahal mereka belum pernah melihatku.
Itulah kita — manusia di hilir sungai, yang dirindukan oleh sang mata air cahaya. Maka, bagaimana mungkin kita tega membiarkan air cintanya menjadi keruh oleh kebencian, kesombongan, dan fanatisme?

Di setiap zaman, sungai itu mengalir melewati ladang-ladang baru. Ada masa ketika ia disambut dengan kasih dan dijaga dengan iman. Namun ada pula masa, seperti kini, ketika sungai itu nyaris tersumbat oleh keserakahan, hoaks, dan kebencian yang mengatasnamakan agama. Di tengah derasnya arus modernitas, kita ditantang bukan hanya untuk menjadi peminum air suci itu, tetapi juga penjaganya.

Menjaga kejernihan risalah bukan sekadar menghafal hadis atau meniru gerak-gerik beliau, tetapi menghidupkan akhlaknya dalam kehidupan nyata. Rasulullah ﷺ tidak datang membawa pedang, tetapi membawa nur kasih sayang. Ia tidak meninggikan suku, tetapi meninggikan kemanusiaan. Ia tidak menuntut pengikut yang banyak, tetapi menuntun hati agar damai dan berani mencintai.

Setiap kali kita berlaku jujur, menahan amarah, atau memaafkan dengan tulus, sesungguhnya kita sedang ikut menjaga air itu tetap jernih. Setiap kali kita menolak menyebarkan kebencian dan fitnah, kita sedang membersihkan sungai dari kotoran yang mengeruhkannya. Dan setiap kali kita bershalawat:

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد

kita seolah menimba air dari hulu, menyiramkannya ke hati kita yang mulai kering.

Tapi, sungai tidak boleh berhenti di kita. Jika air di hilir dibiarkan menggenang, ia akan busuk. Jika risalah itu kita simpan sendiri, ia akan kehilangan daya hidupnya. Maka tugas kita bukan hanya menjaga kejernihan, tetapi juga meneruskan alirannya kepada generasi berikutnya — anak-anak, santri, mahasiswa, dan siapa pun yang haus akan makna hidup.

Mengalirkan risalah Nabi di zaman ini berarti menyampaikan cinta di tengah bisingnya kebencian, menanam kelembutan di tengah gurun digital, dan menjaga hati tetap tenang di tengah banjir informasi yang menyesatkan. Di era yang serba cepat ini, keteladanan Nabi justru hadir sebagai kesejukan yang menahan kita agar tak hanyut oleh arus.

Sungai itu masih mengalir. Cahaya itu masih menyinari. Yang perlu kita lakukan hanyalah menunduk, meneguk, dan meneruskan aliran itu dengan hati yang bersih. Karena sejauh apa pun jarak waktu memisahkan kita dari beliau, jarak cinta tak pernah jauh. Cinta itu mengalir tanpa henti — dari hulu kenabian menuju hilir kemanusiaan.

Dan di setiap tetes air yang kita sampaikan dengan kasih, ada gema lembut yang terdengar dari hulu:

أمتى…. أمتى

“Ummati… ummati…”
“Umatku… umatku…”

Suara itu tak pernah padam. Ia terus memanggil, agar kita menjaga sungai risalah ini tetap jernih — agar di ujung perjalanan nanti, ketika kita akhirnya kembali ke sumber, kita bisa berkata dengan haru:

Wahai Rasulullah, air cintamu telah kami jaga. Dan kini, izinkan kami pulang ke hulumu.