Ketika Tuhan Menyapa Lewat Cermin: Jejak Cinta Ibnu ‘Arabi
Oleh: Agus Gunawan
Nama Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī (w. 1240 M) hampir selalu menimbulkan dua reaksi ekstrem: kekaguman yang dalam dan kecaman yang keras. Di satu sisi, ia dielu-elukan sebagai Shaykh al-Akbar (Guru Agung) yang mewariskan warisan spiritual paling mendalam dalam sejarah Islam. Di sisi lain, ia dianggap kontroversial karena ajaran metafisiknya yang dianggap “menyimpang” oleh sebagian ulama.
Kontroversi ini terutama berpusat pada konsep Waḥdat al-Wujūd — kesatuan eksistensi — yang sering disalahpahami sebagai penyatuan hakiki antara Tuhan dan makhluk. Padahal, jika dikaji dalam konteks filsafat dan simbolisme sufistiknya, Ibn ‘Arabī tidak pernah meniadakan perbedaan antara Khāliq (Pencipta) dan makhlūq (ciptaan). Ia justru menegaskan bahwa seluruh wujud di alam hanyalah penampakan (tajallī) dari Wujud Mutlak, bukan Tuhan itu sendiri.
Dalam karya monumentalnya, al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn ‘Arabī menggambarkan alam semesta sebagai “cermin” yang memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Ia menulis:
“Al-Ḥaqq lā yata‘ayyan illā bi khalqih, wal-khalq lā yaqūmu illā bi Ḥaqqih.”
“Yang Maha Benar (Allah) tidak dapat dikenal kecuali melalui ciptaan-Nya, dan ciptaan tidak dapat berdiri kecuali dengan (dukungan) Kebenaran-Nya.”
Pernyataan ini tidak bermakna bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu entitas, tetapi menunjukkan ketergantungan ontologis makhluk kepada Tuhan. Dalam istilah modern, Ibn ‘Arabī berbicara tentang hubungan eksistensial yang tak terputus antara yang Mutlak dan yang relatif — antara sumber cahaya dan pantulannya.
Sumber Kesalahpahaman
Kritik keras terhadap Ibn ‘Arabī muncul sejak abad ke-13, di antaranya dari Ibn Taymiyyah dan sebagian fuqahā’ yang membaca teksnya secara literal. Bahasa simbolik dan puitis Ibn ‘Arabī memang sulit dicerna tanpa dzawq (rasa spiritual) sufistik. Dalam kerangka hukum dan kalam rasional, pernyataan-pernyataannya tampak ambigu. Padahal, bagi kaum arif, simbolisme itu adalah jalan untuk menggambarkan pengalaman mistik yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa biasa.
Sebagai contoh, ketika Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa “tiada wujud kecuali Wujud Allah”, itu bukan berarti makhluk adalah Tuhan, tetapi bahwa selain Allah, segala sesuatu tidak memiliki wujud sejati — semuanya bergantung dan fana. Ini sejalan dengan firman Allah:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Segala sesuatu yang ada di atas bumi akan binasa, dan hanya wajah Tuhanmu yang tetap kekal.” (QS. ar-Raḥmān [55]: 26–27)
Ayat ini menjadi dasar ontologis bagi pandangan Ibn ‘Arabī bahwa realitas sejati hanyalah Allah, sementara makhluk adalah refleksi temporal dari Wujud-Nya yang abadi.
Pembelaan dari Para Ulama
Banyak ulama besar kemudian tampil membela Ibn ‘Arabī, di antaranya Jalāluddīn as-Suyūṭī, ‘Abd al-Ghanī an-Nābulusī, al-Qāshānī, hingga Shaykh Aḥmad Sirhindī — meski yang terakhir melakukan reinterpretasi menjadi konsep Waḥdat al-Shuhūd (kesatuan penyaksian). Mereka menegaskan bahwa ajaran Ibn ‘Arabī tidak keluar dari tauhid, justru memperdalam makna keesaan Tuhan secara spiritual.
Al-Suyūṭī dalam risalah Tanbīh al-Ghabī bi Tabri’at Ibn ‘Arabī menyatakan bahwa banyak tuduhan kekufuran terhadap Ibn ‘Arabī muncul karena ketidaktahuan dan kesalahpahaman bahasa simbolik para sufi.
Tasawuf sebagai Ilmu Rasa
Tasawuf Ibn ‘Arabī menuntut bukan sekadar membaca teks, tetapi mengalami makna. Ia mengajarkan perjalanan ruhani menuju makrifat, bukan spekulasi filsafat kosong. Dalam kerangka ini, semua makhluk adalah ayat-ayat Tuhan yang harus dibaca dengan hati yang bersih. Maka tidak heran jika pemikirannya banyak menginspirasi tokoh-tokoh besar seperti Rumi, al-Jīlī, Ibn al-Fāriḍ, hingga Hamzah Fansuri di dunia Melayu.
Penutup
Kontroversi seputar Ibn ‘Arabī akan terus hidup selama manusia memandang agama hanya dari kulit luar tanpa menapaki kedalaman maknanya. Ia bukan sosok yang meniadakan syariat, tetapi menyingkap rahasia di baliknya. Sebagaimana ia tulis dengan lembut:
“Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa Rabbah” — Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.
Mengenal diri bukan berarti menuhankan diri, tetapi menyadari kefanaan diri di hadapan Wujud yang Mutlak. Dalam kesadaran itu, Ibn ‘Arabī ingin menuntun manusia bukan untuk menjadi Tuhan, melainkan menyadari bahwa tiada selain Tuhan (لَا مَوْجُودَ إِلَّا اللهُ), artinya: menyadari bahwa hanya Allah yang memiliki wujud sejati, sementara segala sesuatu di alam ini hanyalah ciptaan yang bergantung pada-Nya — seperti bayangan yang tak bisa ada tanpa cahaya. Wallahu A’lam [gn]