Santri dan Moderasi

Santri di Garis Depan Peradaban: Mengawal Kemerdekaan, Menjemput Dunia

Oleh: Agus Gunawan

Pada 22 Oktober setiap tahunnya, Indonesia memperingati momen penting yaitu Hari Santri Nasional. Untuk tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”. Tema tersebut tidak hanya sekadar ungkapan retorika, melainkan panggilan untuk generasi santri—yang selama ini dikenal sebagai penjaga tradisi keagamaan dan kebangsaan—untuk mengemban tugas yang lebih luas: menjaga kemerdekaan bangsa sekaligus membawa nilai-nilai kemanusiaan dan keilmuan Indonesia ke panggung peradaban dunia.

Kemerdekaan yang dimaksud bukan hanya kemerdekaan secara fisik atau politik semata. Ia adalah kemerdekaan ide, kemerdekaan moral, kemerdekaan berilmu, dan kemerdekaan berkontribusi dalam peradaban. Kata “mengawal” mengandung arti aktif, bukan pasif; bukan sekadar mengenang jasa para santri pendahulu yang pernah mengangkat senjata dan semangat untuk mempertahankan tanah air—seperti yang tercatat dalam sejarah KH Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihad-nya—melainkan juga ikut menjaga nilai-nilai bangsa agar tidak tergilas oleh zaman dan arus globalisasi.

Sementara itu, “Menuju Peradaban Dunia” menunjukkan bahwa santri hari ini jangan hanya terpaku pada ranah lokal atau nasional. Peradaban dunia—dengan segala tantangan dan peluangnya—memanggil. Santri dituntut untuk berdialog secara global, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, serta tetap berakar pada tradisi pesantren dan nilai Islam rahmatan lil’alamin. Makna ini diperkuat oleh penjelasan bahwa santri bukan sekadar pelaku keagamaan tertutup, tetapi agen perubahan yang terbuka terhadap dunia.

Santri: Pilar Kemerdekaan dan Peradaban

Para santri punya sejarah panjang sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Mereka tidak hanya mengaji kitab, tetapi juga menjaga moral kebangsaan, menegakkan akhlak, dan memperkuat institusi sosial. Maka tepat kiranya tema tahun ini menempatkan santri sebagai garda terdepan dalam menjaga kemerdekaan—yang berarti menjaga eksistensi bangsa dengan nilai-nilai luhur. Konteksnya hari ini semakin kompleks: revolusi digital, tantangan global, perubahan iklim, disrupsi sosial, masih sangat membutuhkan sosok yang kuat dalam iman, ilmu dan akhlak.

Saat ini, peran santri meluas: dari pesantren ke kota, dari masjid ke kampus, dari ceramah ke konten digital. Mereka menjadi jembatan antara tradisi keilmuan klasik dan modernitas berbasis sains, teknologi, dan wawasan global. Semangat “mengawal” harus direalisasikan melalui kontribusi nyata: pendidikan, riset, kewirausahaan sosial, pengabdian masyarakat, dan dialog antar-budaya. Dengan demikian, santri menjadi pelaku peradaban, bukan hanya pengamatnya.

Tantangan dan Jalan Kemenangan

Namun, tantangan yang dihadapi tak ringan. Globalisasi membawa arus yang cepat, ideologi yang bertabrakan, dan teknologi yang memecah konsentrasi spiritual. Di sisi lain, kemerdekaan bisa terasa rapuh bila nilai-nilai moral dan kebangsaan tidak dijaga dengan sungguh-sungguh. Santri harus memerankan dirinya sebagai benteng nilai—iman yang teguh, ilmu yang terbuka, akhlak yang mulia—serta sebagai pelopor inovasi yang relevan dengan kemajuan zaman.

Dalam konteks peradaban dunia, santri di Indonesia punya modal kuat: budaya pesantren yang menanamkan disiplin, kebersamaan, toleransi dan keilmuan. Melalui tema ini, santri diajak untuk memperluas jangkauan kontribusinya: tidak hanya untuk pesantren atau masyarakat sekitar, tetapi juga untuk kemanusiaan global. Mereka bisa menjadi agen dialog antaragama, pelopor inovasi sosial berbasis nilai Islam, maupun partisipan aktif dalam membawa wajah Indonesia yang ramah, cerdas, kreatif ke tingkat internasional.

Menjemput Peradaban Dunia

Menjadi bagian dari peradaban dunia berarti berpikir dan bertindak dalam skala yang lebih luas. Santri hari ini bisa aktif dalam riset dan inovasi yang bersinggungan dengan tantangan global—perubahan iklim, kemiskinan, keadilan sosial, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi digital. Tetapi hal tersebut harus tetap berakar pada nilai-nilai keislaman: adil, rahmatan lil’alamin, menjunjung tinggi persatuan, menghormati perbedaan.

Dengan demikian, tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” juga mengandung panggilan kultural: santri sebagai agen dalam membumikan nilai-nilai Indonesia—keragaman, gotong royong, toleransi—di kancah global. Indonesia dengan ribuan pesantren, satu rakyat, punya potensi besar untuk memberi warna di peradaban dunia: bukan hanya sebagai konsumen budaya global, tetapi sebagai produsen nilai dan gagasan.

Penutup: Api Semangat yang Tak Padam

Ketika bendera merah-putih berkibar di 22 Oktober, ketika para santri berkumpul dalam doa, zikir, khidmat ilmu, itulah saat kita mengingat bahwa kemerdekaan adalah amanah. Dan peradaban dunia adalah panggilan. Santri adalah jawabannya. Mereka—melalui tugas mengawal dan menjemput—menjadi cahaya di era yang kadang gelap, menjadi jembatan yang menghubungkan akar–akar tradisi dengan sayap masa depan.

Mari sambut Hari Santri 2025 dengan semangat baru: semangat untuk tidak hanya merayakan sejarah, tetapi untuk terus menulis sejarah. Kemerdekaan yang dijaga, peradaban yang dituju. Dengan iman, ilmu, dan akhlak, santri berdiri di garis depan: mengawal Indonesia merdeka menuju peradaban dunia yang lebih baik. [gn]

 

Posted in HSN