Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Negara: Membaca Kasus Hotel Sultan antara Kepastian Hukum dan Keadilan Sosial
Oleh: Agus Gunawan*
Abstraksi
Kasus sengketa Hotel Sultan antara pemerintah dan pihak PT Indobuildco yang dimiliki keluarga almarhum Pontjo Sutowo menjadi salah satu preseden penting dalam hukum pertanahan di Indonesia. Sengketa ini menyoroti posisi Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah negara yang berada di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), dan menimbulkan pertanyaan fundamental tentang batasan, perpanjangan, dan kepemilikan atas tanah negara oleh pihak swasta. Artikel ini mengkaji dasar hukum HGB, pengaturannya dalam sistem hukum agraria Indonesia, serta menganalisis kasus Hotel Sultan dari perspektif keadilan sosial, kepastian hukum, dan fungsi sosial tanah sebagaimana diamanatkan dalam UUPA 1960. Kajian ini bertujuan memberikan pemahaman kontekstual bahwa HGB bukanlah hak kepemilikan mutlak, melainkan hak pakai terbatas waktu yang tunduk pada prinsip negara sebagai pemegang hak atas tanah tertinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kata kunci: HGB, tanah negara, Hotel Sultan, kepastian hukum, keadilan sosial, UUPA 1960.
Pendahuluan
Di tengah geliat pembangunan dan dinamika ekonomi Indonesia, persoalan hukum agraria tetap menjadi tema klasik yang tak pernah tuntas. Salah satu yang paling ramai diperbincangkan adalah sengketa Hotel Sultan, yang mencuat kembali ketika pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) meminta pengosongan area tersebut pada tahun 2024. Sengketa ini bukan semata urusan bisnis atau aset, tetapi mencerminkan tarik-menarik antara hak individual atas tanah (HGB) dengan fungsi sosial tanah sebagai milik negara.
Tanah tempat berdirinya Hotel Sultan berada di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat—wilayah strategis milik negara. Namun, sejak 1970-an, hak pengelolaannya diberikan kepada PT Indobuildco dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) yang masa berlakunya kini telah habis. Permasalahan muncul ketika pihak pengelola menolak menyerahkan kembali lahan tersebut, mengklaim memiliki hak atas perpanjangan. Di sinilah titik krusialnya: apakah HGB dapat diperpanjang otomatis, ataukah berakhir begitu masa berlakunya habis?
Pengertian dan Dasar Hukum Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) merupakan salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 35 UUPA menjelaskan bahwa:
“Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.”
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang hingga 20 tahun (Pasal 35 ayat 2), dan setelahnya dapat diperbaharui kembali atas dasar kebijakan negara. Artinya, HGB bukan hak yang bersifat permanen atau turun-temurun, melainkan hak terbatas yang tunduk pada pertimbangan pemerintah terkait fungsi sosial tanah dan kepentingan umum.
Peraturan pelaksananya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam Pasal 25 dan 26 disebutkan bahwa:
- HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun,
- Dapat diperpanjang paling lama 20 tahun,
- Dan dapat diperbaharui setelah masa perpanjangan berakhir.
Dengan demikian, tidak ada klausul yang menjamin perpanjangan otomatis HGB, terutama apabila tanah tersebut merupakan tanah negara strategis atau tanah yang dikuasai pemerintah untuk kepentingan umum.
Kronologi dan Fakta Kasus Hotel Sultan
Hotel Sultan berdiri di atas lahan seluas sekitar 13 hektare di kawasan GBK. Awalnya, pada era Orde Baru, pemerintah memberikan hak pengelolaan kepada PT Indobuildco (milik Pontjo Sutowo) dengan status HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora, berlaku sejak tahun 1989 hingga 2023. Namun, tanah tersebut sebenarnya merupakan bagian dari aset negara yang dikuasai Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) di bawah Sekretariat Negara (Setneg).
Pada tahun 2023, masa berlaku HGB tersebut habis dan pemerintah tidak memperpanjangnya. PT Indobuildco mengajukan keberatan, bahkan menggugat keputusan tersebut dengan dalih telah menanamkan investasi besar dan memiliki hak moral serta ekonomis atas tanah tersebut. Namun, pemerintah berpegang pada prinsip bahwa tanah negara tidak dapat dimiliki oleh pihak swasta setelah masa haknya berakhir.
Puncaknya, pada 2024, pemerintah memerintahkan pengosongan lahan untuk mengembalikan pengelolaan kawasan GBK kepada negara. Sengketa ini pun menjadi bahan perdebatan publik antara kepastian hukum kontraktual dan keadilan sosial dalam penguasaan tanah.
Analisis Hukum: Antara Kepastian dan Keadilan
Kasus Hotel Sultan menjadi contoh konkret dari konflik antara kepastian hukum formal dengan keadilan substantif dalam hukum agraria. Dari sisi hukum positif, posisi pemerintah kuat. Berdasarkan UUPA dan PP 40/1996, hak guna bangunan yang telah berakhir masa berlakunya tidak dapat diperpanjang otomatis, terlebih jika tanah tersebut diperlukan untuk kepentingan umum.
Namun dari sisi keadilan ekonomis dan investasi, pihak swasta menganggap bahwa negara seharusnya memberikan kompensasi atau masa transisi yang adil. Pandangan ini merujuk pada asas perlindungan hukum terhadap hak-hak investasi dan asas kepastian berusaha sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Di sinilah terlihat ketegangan antara dua prinsip hukum yang sama-sama penting:
- Kepastian hukum – bahwa setiap hak atas tanah harus berakhir sesuai jangka waktu yang ditentukan undang-undang.
- Keadilan sosial – bahwa setiap kebijakan negara harus memperhatikan aspek kemanusiaan, termasuk nilai investasi dan tenaga kerja yang telah terserap.
Namun, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Artinya, hak perseorangan tidak boleh mengalahkan kepentingan publik. Dalam konteks Hotel Sultan, karena tanah tersebut merupakan kawasan vital milik negara (GBK), maka fungsi sosial dan kepentingan publik menjadi prioritas.
Perspektif Hukum Islam terhadap Hak Guna Bangunan
Dalam perspektif hukum Islam, konsep hak guna bangunan dapat dianalogikan dengan ‘ariyah (peminjaman) atau ijarah (sewa-menyewa) atas manfaat suatu benda, bukan kepemilikan benda itu sendiri. Prinsip yang berlaku adalah “al-milk lillāh wal-ardh lillāh” – kepemilikan hakiki atas tanah tetap milik Allah, sementara manusia hanyalah pengelola (khalifah).
Maka, ketika hak guna telah selesai, tanah harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dalam hal ini negara sebagai wakil publik. Hukum Islam mendukung asas fungsi sosial tanah dan mencegah monopoli yang menimbulkan ketimpangan. Oleh karena itu, dalam kasus Hotel Sultan, penegasan negara untuk mengakhiri HGB sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah – menjaga kemaslahatan umum di atas kepentingan individu.
Refleksi: Negara, Swasta, dan Masa Depan Pengelolaan Tanah
Kasus Hotel Sultan membuka mata bahwa regulasi pertanahan di Indonesia masih memerlukan harmonisasi antara aspek hukum, bisnis, dan sosial. Negara perlu tegas dalam menegakkan batas waktu hak atas tanah, namun juga harus bijak dalam memberikan kompensasi atau penghargaan terhadap kontribusi ekonomi pihak swasta selama masa pengelolaan.
Di sisi lain, sektor swasta perlu menyadari bahwa memiliki HGB bukan berarti memiliki tanah, melainkan hanya menguasai manfaatnya dalam jangka waktu tertentu. Prinsip ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kedaulatan negara atas tanah dan kepastian investasi.
Kesimpulan
Kasus Hotel Sultan menjadi momentum untuk menegaskan kembali esensi UUPA 1960, bahwa tanah di Indonesia tidak boleh dikuasai secara absolut oleh individu atau korporasi. HGB bersifat sementara dan tunduk pada prinsip fungsi sosial tanah. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan perseorangan.
Ke depan, pemerintah perlu memperkuat regulasi perpanjangan HGB, menegakkan transparansi, dan memastikan adanya mekanisme kompensasi yang adil. Dengan demikian, kepastian hukum dan keadilan sosial dapat berjalan beriringan dalam kerangka hukum agraria nasional yang berkeadilan.
Bibliografi
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
- Kementerian Sekretariat Negara RI. Keterangan Pers Terkait Status Tanah Hotel Sultan. Jakarta, 2024.
- Kompas.com. Kasus Hotel Sultan: Hak Guna Bangunan Habis, Pemerintah Ambil Alih Aset Negara. 2024.
- Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008.
- Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
- Nasution, Khoiruddin. Hukum Islam dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: UII Press, 2017.
*Hakim (purna)