Gambar: pinterest.com
Menegakkan Keadilan Pasca Cerai: Tafsir QS. At-Talaq 6–7 dalam Praktik Peradilan Agama dan Tantangan Keadilan Substantif di Indonesia
Oleh: Agus Gunawan*
Abstrak
Perceraian merupakan fenomena hukum yang kompleks karena menyangkut keadilan, tanggung jawab moral, dan perlindungan sosial terhadap perempuan dan anak. QS. At-Talaq ayat 6–7 memberikan landasan teologis dan etis bagi penyelesaian hak-hak pasca perceraian secara adil dan manusiawi. Dalam konteks hukum positif Indonesia, nilai-nilai tersebut terakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149–156 dan diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Artikel ini mengelaborasi hubungan antara norma Qur’ani dan praktik peradilan agama dalam upaya mewujudkan keadilan substantif. Melalui analisis normatif-filosofis, tulisan ini menegaskan bahwa hakim tidak cukup hanya menegakkan keadilan prosedural, melainkan harus menjadi jembatan antara teks hukum dan realitas kemanusiaan, dengan mempertimbangkan kemampuan, kebutuhan, dan perlindungan semua pihak yang terlibat.
Kata kunci: Keadilan substantif, QS. At-Talaq, KHI, Perma No. 3/2017, peradilan agama.
Pendahuluan
Perceraian dalam perspektif hukum Islam tidak hanya merupakan pemutusan akad, melainkan juga peristiwa moral dan sosial yang menuntut tanggung jawab. Ketika ikatan suami istri berakhir, Al-Qur’an menuntun agar hubungan kemanusiaan tetap dijaga melalui keadilan dan kebaikan. QS. At-Talaq ayat 6–7 menegaskan pentingnya tanggung jawab suami terhadap mantan istri dan anak pasca perceraian.
Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai tersebut diformulasikan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Perma No. 3 Tahun 2017 yang berupaya melindungi perempuan sebagai pihak yang sering dirugikan secara ekonomi dan sosial. Namun, penerapan norma ini tidak selalu sederhana, terutama ketika suami tidak memiliki kemampuan finansial memadai. Maka, muncul dilema bagi hakim: bagaimana menegakkan keadilan tanpa melanggar prinsip kemanusiaan dan proporsionalitas?
Tulisan ini menelaah relevansi tafsir QS. At-Talaq 6–7 dalam praktik peradilan agama, serta tantangan mewujudkan keadilan substantif yang tidak berhenti pada teks, tetapi hidup dalam kenyataan sosial.
Tafsir QS. At-Talaq 6–7: Keadilan sebagai Etika Sosial
Allah Swt. berfirman:
وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ (6)
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)
Ayat ini menegaskan empat prinsip penting dalam hukum keluarga Islam:
- Kewajiban nafkah bagi istri dan anak pasca cerai, terutama bagi perempuan hamil.
- Kompensasi jasa menyusui anak, sebagai bentuk penghargaan terhadap peran keibuan.
- Musyawarah ma‘ruf, yaitu dialog penuh etika dan kasih sayang antar mantan pasangan.
- Proporsionalitas kemampuan, bahwa kewajiban nafkah disesuaikan dengan kemampuan riil suami.
Menurut al-Qurṭubī, ayat ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak hanya menuntut keadilan formal, tetapi juga keadilan yang penuh empati. Sedangkan Ibn Kathīr menafsirkan ayat ke-7 sebagai kaidah universal tentang tanggung jawab sosial: setiap orang wajib menunaikan kewajiban sesuai kadar kemampuan, dan Allah menjanjikan kelapangan setelah kesempitan.
Dengan demikian, ayat ini menghadirkan model keadilan yang berimbang (balanced justice): suami tidak boleh berlepas tangan dari tanggung jawabnya, namun ia juga tidak boleh dibebani di luar batas kemampuannya. Di sinilah letak keadilan substantif — keadilan yang mengukur bukan hanya hak dan kewajiban, tetapi juga realitas manusia.
KHI dan Perma No. 3 Tahun 2017: Legislasi Berbasis Nilai Ilahi
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149–156 mengatur secara tegas kewajiban suami terhadap mantan istri dan anak. Pasal 149 huruf b menyebut suami wajib memberikan nafkah, tempat tinggal (maskan), dan pakaian (kiswah) selama masa iddah, kecuali istri nusyuz. Pasal 156 menegaskan tanggung jawab suami terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.
Selanjutnya, Perma No. 3 Tahun 2017 memperluas cakupan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam konteks perceraian, ini berarti hakim harus mempertimbangkan kerentanan sosial-ekonomi perempuan, bukan semata teks normatif.
Perma ini merupakan wujud fiqh sosial kontemporer: hukum Islam yang bersentuhan dengan realitas masyarakat modern, di mana kesetaraan gender, perlindungan anak, dan keadilan substantif menjadi fokus utama.
Dilema Hakim dan Tanggung Jawab Moral Hukum
Masalah muncul ketika suami tidak mampu secara ekonomi untuk memenuhi ketentuan KHI. Jika hakim memutus sesuai teks tanpa mempertimbangkan realitas, maka keputusan dapat menjadi tidak manusiawi. Sebaliknya, jika hakim mengurangi kewajiban tanpa dasar yang kuat, maka hak perempuan dan anak terabaikan.
Di titik inilah peran moral hakim menjadi sentral. Hakim bukan sekadar pelaksana hukum, tetapi penafsir nilai-nilai Ilahi yang harus menyeimbangkan antara “keadilan hukum” dan “keadilan nurani”. Prinsip lā yukallifullāhu nafsan illā mā ātāhā menjadi dasar etik bagi hakim untuk menegakkan keadilan yang tidak memaksa, namun tetap melindungi yang lemah.
Dalam praktiknya, hakim dapat:
- Memeriksa kondisi finansial suami secara faktual melalui bukti dan saksi.
- Menetapkan nafkah secara bertahap atau proporsional, agar keputusan dapat dijalankan.
- Mendorong musyawarah dan mediasi pasca cerai, sesuai dengan perintah wa’tamirū bainakum bi ma‘rūf.
- Memperluas kolaborasi dengan lembaga zakat atau Dinas Sosial dalam memastikan keberlanjutan nafkah bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Langkah-langkah ini merupakan implementasi nyata dari keadilan substantif, yang mengutamakan maslahat dan kemanusiaan daripada sekadar prosedur hukum.
Keadilan Substantif: Ruh Peradilan Agama
Keadilan substantif adalah keadilan yang hidup dalam konteks sosial, bukan keadilan yang mati di dalam teks. Hakim peradilan agama harus berani menjembatani jurang antara norma dan realitas. Ia dituntut tidak hanya memahami hukum, tetapi juga merasakan penderitaan manusia yang mencari keadilan.
Dalam perkara perceraian, keputusan hakim tidak hanya menentukan nasib hukum, tetapi juga nasib kehidupan. Ketika hakim memutus dengan hati nurani, ia tidak hanya menegakkan pasal, tetapi juga menegakkan kasih Tuhan. Sebab, dalam setiap putusan, tersimpan pesan spiritual: hukum adalah jalan menuju kemaslahatan, bukan beban penderitaan.
Menegakkan keadilan pasca cerai berarti memastikan tidak ada pihak yang ditinggalkan tanpa perlindungan. Keadilan sejati bukan berarti menyamakan semua orang, tetapi menempatkan setiap pihak sesuai hak dan kemampuannya. Inilah makna terdalam dari “sayaj‘alu Allāhu ba‘da ‘usrin yusrā” — bahwa di balik kesempitan hidup, Allah menyiapkan ruang kelapangan melalui hukum yang penuh kasih dan kebijaksanaan.
Penutup
Surat At-Talaq 6–7, KHI Pasal 149–156, dan Perma No. 3 Tahun 2017 adalah tiga pilar keadilan pasca cerai yang saling melengkapi. Ketiganya mengajarkan bahwa keadilan sejati tidak hanya terletak pada teks, tetapi pada empati, proporsionalitas, dan tanggung jawab moral.
Hakim yang bijak adalah mereka yang menjadikan hukum sebagai sarana rahmat, bukan sekadar prosedur. Sementara para pencari keadilan perlu memahami bahwa tuntutan hak harus dibarengi dengan kesadaran moral: keadilan bukan hanya tentang mendapatkan bagian, tetapi juga tentang memahami batas kemampuan manusia lain.
Dalam sistem hukum Islam, keadilan bukan sekadar tujuan hukum (maqṣad al-ḥukm), tetapi juga ibadah sosial. Dan dalam setiap ruang sidang, hakim dan para pihak sejatinya sedang menjalankan amanah Ilahi untuk menegakkan kasih sayang Tuhan di bumi.
Daftar Pustaka
- Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
- Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI), Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
- Mahkamah Agung RI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Jakarta: MA RI, 2017.
- Nurrohman. “Keadilan Substantif dalam Hukum Keluarga Islam.” Jurnal Al-Manahij 15, no. 2 (2021).
- Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.
- Muhammad Syahrur. Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Damaskus: al-Ahali, 1990.
*Hakim (Purna), kini: dosen, pemerhati hukum keluarga, wkl mudir JATMAN Jawa Barat.