Cerai antara Fikih dan Hukum Negara: Menyatukan Norma Ilahi dan Realitas Sosial
Perceraian bukan sekadar putusnya ikatan lahir antara dua insan, melainkan peristiwa spiritual dan sosial yang menyentuh banyak sisi kehidupan. Dalam fikih Islam, talak dibolehkan namun menjadi langkah terakhir ketika rumah tangga kehilangan ketenangan (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan kasih rahmat (rahmah). Talak bisa dijatuhkan oleh suami dengan ucapan sah, atau oleh istri melalui jalur khulu‘ (tebus talak) dan fasakh (putusan hakim karena alasan tertentu). Prinsip utamanya adalah keadilan dan kebaikan, sebagaimana firman Allah: “Ceraikanlah mereka dengan cara yang baik” (QS. al-Baqarah [2]: 229).
Dalam hukum positif Indonesia, perceraian baru sah setelah melalui proses peradilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menegaskan: perceraian tanpa putusan pengadilan tidak diakui secara hukum. Tujuannya bukan membatasi syariat, melainkan memastikan hak istri, anak, dan harta bersama terlindungi secara adil dan transparan.
Kadang masyarakat keliru menempatkan keduanya sebagai dua kutub yang bertentangan. Padahal, fikih memberi arah moral dan spiritual, sedangkan hukum negara menegakkan ketertiban dan kepastian hukum. Keduanya sejatinya saling menguatkan: fikih memberi ruh bagi hukum, dan hukum memberi struktur bagi nilai-nilai fikih.
Ketika norma ilahi berpadu dengan realitas sosial, perceraian tidak lagi menjadi aib atau konflik berkepanjangan, tetapi keputusan sadar untuk menjaga kehormatan, menghindari kezaliman, dan menegakkan keadilan yang berjiwa rahmah. [gn]