Hari Santri

Hari Santri 2025: Ujian Marwah, Momentum Kebangkitan

Oleh: Agus Gunawan

(Wakil Mudir Wustha JATMAN Jawa Barat)

Hari Santri 2025 datang di tengah dua peristiwa yang mengguncang dunia pesantren: ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo dan kontroversi tayangan Trans7 yang dianggap melecehkan tradisi santri. Keduanya menjadi cermin bahwa pesantren dan media, dua lembaga penting dalam pembentukan moral bangsa, tengah diuji tanggung jawabnya di hadapan publik.

  1. Santri di Titik Refleksi

Sejak ditetapkan pada 22 Oktober, Hari Santri bukan hanya seremoni tahunan, tapi ajakan untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan ulama dan santri dalam menjaga bangsa. Dulu, santri berjuang dengan senjata dan doa. Kini, mereka berjuang di medan ilmu, ekonomi, dan moral publik. Tantangan terbesar hari ini bukan lagi penjajahan fisik, tapi degradasi nilai, kelalaian, dan kehilangan sensitivitas terhadap akhlak.

Peringatan tahun ini seharusnya menjadi momentum introspeksi, bukan sekadar pesta simbolik. Santri harus bertanya: apakah pesantren hari ini cukup aman, cukup profesional, dan cukup adaptif menghadapi zaman digital? Apakah marwah pesantren masih terjaga di tengah derasnya arus hiburan dan opini media?

  1. Tragedi Al Khoziny: Pesantren dan Tanggung Jawab Keselamatan

Runtuhnya musala di Pondok Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, yang menewaskan belasan santri, membuka luka mendalam di dunia pendidikan Islam. Investigasi awal menunjukkan dugaan kelalaian konstruksi dan minimnya pengawasan teknis. Pertanyaan pun muncul: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan bangunan pesantren?

Peristiwa ini menegaskan pentingnya standar keselamatan pesantren. Banyak pondok berdiri dari swadaya masyarakat, tanpa pengawasan profesional. Karena itu, pemerintah perlu hadir bukan sekadar memberi bantuan pasca-bencana, tetapi juga membuat pedoman teknis konstruksi pesantren dan sistem audit rutin.

Namun, bantuan negara juga harus adil dan transparan. Bila hanya satu pesantren dibangun dengan dana APBN tanpa kriteria jelas, maka muncul ketimpangan terhadap ribuan pondok lain yang sama-sama butuh perhatian. Yang lebih dibutuhkan adalah sistem pembinaan menyeluruh, bukan reaksi sementara setelah tragedi.

  1. Kasus Trans7: Media dan Sensitivitas Keagamaan

Belum reda duka di Sidoarjo, publik kembali tersentak oleh tayangan Trans7 dalam program “Xpose Uncensored” yang menggambarkan relasi santri-kiai secara merendahkan. Kalimat seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok” dinilai melecehkan tradisi penghormatan.

Gelombang protes pun datang dari alumni pesantren Lirboyo dan jaringan santri di seluruh Indonesia. Trans7 kemudian mengakui kelalaian, meminta maaf, dan berjanji memperbaiki sistem produksi. Namun peristiwa ini menyisakan pelajaran penting: media perlu memahami bahasa kultural pesantren.

Tradisi pesantren sarat simbol penghormatan dan spiritualitas yang tak bisa diterjemahkan dengan logika hiburan modern. Kesalahan memahami konteks bisa berubah menjadi pelecehan nilai. Karena itu, lembaga penyiaran harus membangun dialog intensif dengan komunitas pesantren, bukan sekadar meminta maaf setelah kontroversi terjadi.

  1. Momentum Perbaikan Bersama

Dua peristiwa ini menjadi alarm nasional. Pesantren butuh pembenahan struktural dan media butuh kedewasaan etis. Keduanya sama-sama punya tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Dari sinilah semangat Hari Santri 2025 menemukan maknanya kembali: menjaga keikhlasan, profesionalitas, dan kehormatan.

Pertama, pesantren perlu memperkuat manajemen keselamatan dan tata kelola bangunan. Kementerian Agama bersama perguruan tinggi teknik dapat membuat program pendampingan untuk audit bangunan dan pelatihan pemeliharaan struktural.

Kedua, media dan pesantren harus membangun forum komunikasi reguler agar narasi tentang dunia santri tidak disalahpahami. KPI dan Dewan Pers juga harus memperkuat pedoman penyiaran terkait konten keagamaan dan budaya lokal.

Ketiga, perlu ada literasi media bagi santri. Santri bukan hanya penerima informasi, tapi juga pembentuk opini. Mereka harus dilatih menjadi “santri komunikator” yang mampu menulis, berdiskusi, dan membela marwah pesantren di ruang digital secara santun dan cerdas.

  1. Penutup: Dari Ujian Menuju Kebangkitan

Hari Santri 2025 memberi pesan tegas: santri bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi penentu arah moral bangsa hari ini. Runtuhnya bangunan fisik di Sidoarjo dan goyahnya bangunan citra di layar televisi adalah dua sisi dari satu persoalan — lemahnya perhatian terhadap keselamatan dan martabat.

Dari dua ujian besar ini, kita belajar bahwa kehormatan pesantren tak boleh dibiarkan runtuh, dan kearifan santri tak boleh direduksi menjadi komedi. Hari Santri 2025 adalah saatnya bangkit: memperkuat akhlak, profesionalitas, dan sinergi agar pesantren tetap menjadi sumber cahaya — bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.[gn]