Taqdir

Kepasrahan pada Takdir: Tenang dalam Genggaman Allah
Oleh: Agus Gunawan

Dalam hidup, tak semua hal berjalan sesuai rencana. Ada saatnya kita berjuang sekuat tenaga, tapi hasilnya tak seperti harapan. Di situlah makna kepasrahan pada takdir menemukan tempatnya—bukan sebagai tanda kalah, melainkan bukti iman yang matang.

Dalam Islam, percaya pada takdir adalah bagian dari rukun iman. Keyakinan bahwa setiap detik hidup kita berada dalam genggaman Allah memberi kedamaian luar biasa. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar [54]: 49)

Namun, kepasrahan tidak berarti berhenti berusaha. Nabi ﷺ mengajarkan keseimbangan indah antara ikhtiar dan tawakal: “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” Artinya, kita tetap berjuang sebaik mungkin, tapi hati kita tidak tergantung pada hasil, melainkan kepada Allah yang menakdirkan segalanya.

Kepasrahan sejati lahir dari keyakinan bahwa Allah Maha Bijaksana. Apa pun yang terjadi—entah kita suka atau tidak—pasti mengandung hikmah. Kadang sesuatu yang tampak pahit justru menyelamatkan kita dari yang lebih buruk. Maka, orang beriman tidak menyesali masa lalu dan tidak takut pada masa depan. Ia hidup tenang dalam keyakinan: segala sesuatu sudah berada di tempat yang seharusnya.

Imam al-Ghazali berkata, “Ridha kepada takdir adalah puncak cinta, karena siapa yang mencintai, ia ridha atas apa pun dari kekasihnya.” Begitulah, kepasrahan adalah bahasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya—bahwa di balik semua yang tampak tak pasti, selalu ada kepastian kasih Allah yang tak bertepi. [gn]