Ketika “Eigendom” Berakhir: Sengketa Tanah Pertamina dan Keadilan Kepemilikan
Oleh: Agus Gunawan
Istilah eigendom mungkin terdengar asing bagi generasi muda hukum, tetapi istilah ini merupakan fondasi dari sistem agraria kolonial Belanda yang dulu berlaku di Indonesia. Eigendom berarti hak milik absolut, di mana seseorang berhak menggunakan, menikmati, dan menguasai sebidang tanah tanpa batas waktu. Dalam hukum perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), pemilik eigendom memiliki kekuasaan penuh terhadap benda yang dimilikinya—suatu bentuk kepemilikan yang bersifat individualistik dan nyaris tanpa batas sosial.
Namun, konsep tersebut berubah secara fundamental ketika Indonesia merdeka dan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. UUPA menghapus sistem kepemilikan tanah ala kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional yang berasaskan keadilan sosial serta hak bangsa atas bumi, air, dan kekayaan alam. Pasal I Aturan Konversi UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah berdasarkan hukum Barat, termasuk eigendom, secara otomatis dikonversi menjadi hak baru sesuai ketentuan nasional—seperti hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai.
Kasus Sengketa Tanah Pertamina
Salah satu contoh nyata yang memperlihatkan transformasi ini adalah sengketa tanah eks-eigendom yang kini dikuasai oleh PT Pertamina (Persero). Dalam kasus yang diputus Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 118 PK/Pdt/2007, ahli waris dari pemilik eigendom verponding zaman Hindia Belanda menggugat Pertamina dan pemerintah, menuntut pengembalian tanah yang mereka klaim sebagai milik keluarga.
Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut dengan tegas. Pertimbangan hukumnya: hak eigendom telah hapus sejak berlakunya UUPA 1960, dan kepemilikan tanah oleh orang asing tidak dapat diakui dalam sistem hukum agraria Indonesia. Tanah tersebut, sesuai kebijakan nasionalisasi tahun 1958–1960, menjadi milik negara dan penggunaannya diserahkan kepada Pertamina untuk kepentingan nasional.
Putusan ini menegaskan prinsip kedaulatan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Negara bukan hanya penguasa administratif, melainkan pemegang amanah rakyat untuk mengatur dan memanfaatkan tanah bagi kemakmuran bersama.
Perspektif Hukum Islam
Jika ditinjau dari perspektif hukum Islam (fiqh), konsep eigendom yang memberikan hak absolut kepada individu bertentangan dengan prinsip dasar kepemilikan dalam syariah. Dalam Islam, kepemilikan sejati hanyalah milik Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 17)
Manusia hanyalah pengelola (khalifah) yang diberi amanah untuk memanfaatkan harta dengan tanggung jawab moral dan sosial. Karena itu, hak milik pribadi tidak bersifat mutlak, melainkan terbatas oleh kepentingan umum (maslahah ‘āmmah) dan aturan syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, no. 3477)
Hadis ini menjadi dasar bahwa sumber daya publik tidak boleh dikuasai secara eksklusif, tetapi harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Dalam konteks ini, penguasaan tanah oleh Pertamina justru dapat dilihat sebagai bentuk siyāsah shar‘iyyah—kebijakan publik yang sejalan dengan syariat, karena dimanfaatkan untuk kebutuhan energi nasional.
Selain itu, Islam juga melarang penelantaran tanah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari, no. 2335)
Artinya, kepemilikan harus disertai dengan pemanfaatan nyata. Tanah yang tidak digarap dan tidak memberi manfaat sosial dapat diambil alih negara demi kemaslahatan rakyat.
Penutup
Kasus sengketa tanah eks-eigendom yang melibatkan Pertamina memperlihatkan bahwa sistem hukum nasional dan hukum Islam sejatinya bertemu pada satu titik: keduanya menolak absolutisme kepemilikan. Eigendom adalah simbol individualisme kolonial, sementara UUPA dan fiqh Islam menegaskan bahwa tanah adalah amanah—bukan sekadar komoditas.
Dengan demikian, sengketa tanah bukan hanya perkara legal formal, tetapi juga persoalan moral dan teologis. Sebab dalam pandangan Islam, kepemilikan sejati bukan soal siapa yang menguasai, melainkan siapa yang mampu memakmurkan bumi untuk kemaslahatan bersama. [gn]