Dropshipping dalam Timbangan Fikih: Antara Akad, Amanah, dan Etika Bisnis Digital
Oleh: Agus Gunawan
Di era ekonomi digital, model bisnis dropshipping menjadi pilihan banyak anak muda muslim yang ingin berwirausaha tanpa modal besar. Melalui sistem ini, seseorang dapat menjual barang tanpa menyimpannya. Cukup memajang foto produk milik pemasok, dan ketika ada pembeli, ia meneruskan pesanan itu ke supplier yang kemudian mengirim barang langsung ke pelanggan. Namun, muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum dropshipping dalam pandangan fikih Islam?
Secara prinsip, Islam tidak menolak inovasi ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Kaidah fiqhiyyah menegaskan:
الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Asal dalam muamalah adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Artinya, setiap bentuk transaksi baru termasuk dropshipping hukumnya boleh selama tidak mengandung unsur haram seperti penipuan (gharar), riba, atau jual beli barang yang belum dimiliki.
Masalah utama dalam dropshipping terletak pada akad dan kepemilikan barang. Dalam fikih, Rasulullah ﷺ bersabda:
“لا تبع ما ليس عندك”
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang belum engkau miliki.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menjadi dasar larangan menjual barang yang belum dikuasai secara sah. Dalam sistem dropshipping, penjual sering kali belum memiliki barang, belum melihat kualitasnya, dan tidak menanggung risiko kerusakan sebelum sampai ke pembeli. Maka, jika penjual menjual produk seolah miliknya padahal bukan, transaksi itu berpotensi mengandung gharar (ketidakjelasan).
Namun, para ulama kontemporer memberikan ruang ijtihad. Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui Fatwa No. 110/DSN-MUI/IX/2017 membolehkan dropshipping dengan syarat akadnya diubah menjadi akad samsarah (perantara/komisi) atau wakalah (perwakilan). Artinya, dropshipper tidak menjual barang yang belum dimilikinya, melainkan bertindak sebagai agen penjualan yang mempromosikan produk milik supplier. Ketika transaksi terjadi, ia mendapat komisi atas jasa promosi tersebut.
Dalam bentuk akad wakalah, dropshipper berperan sebagai wakil dari penjual utama untuk menjualkan barang. Ia tidak menanggung risiko fisik barang karena bukan pemiliknya. Sementara dalam akad samsarah, ia menjadi perantara yang mendapat imbalan (fee) setelah terjadi transaksi. Kedua akad ini sesuai dengan prinsip syariah selama transparan, tidak menipu, dan tidak menimbulkan sengketa.
Etika juga menjadi bagian penting dari praktik dropshipping syariah. Penjual harus jujur dalam mendeskripsikan produk, tidak melebih-lebihkan kualitas, serta memastikan konsumen mengetahui siapa penanggung jawab utama barang. Islam menegaskan bahwa kejujuran adalah fondasi keberkahan dalam jual beli. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barang), maka keduanya akan diberkahi jual belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, dropshipping bukanlah transaksi terlarang selama memenuhi tiga prinsip utama:
-
Akadnya jelas dan sesuai syariah (wakalah atau samsarah).
-
Tidak mengandung unsur gharar dan penipuan dalam promosi atau pengiriman.
-
Transparansi dan amanah antara penjual, supplier, dan pembeli.
Bisnis dropshipping syariah sejatinya mengajarkan integritas di tengah derasnya arus digitalisasi ekonomi. Ia menuntut pelaku usaha muslim untuk tidak sekadar mengejar keuntungan, tapi juga menjaga nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, kejujuran tetap menjadi modal abadi.
Akhirnya, dropshipping dapat menjadi sarana dakwah ekonomi: menjual dengan amanah, mempromosikan dengan adil, dan mencari rezeki tanpa melanggar batas syariat. Sebagaimana pesan Rasulullah ﷺ, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Maka, jadikan dropshipping bukan sekadar bisnis, tapi juga jalan menuju keberkahan dan kemuliaan. [gn]